Pivot Pandemi : Penerbit Buku

Selamat datang kembali di seri Pivot Pandemi edisi ke 4. Ini adalah seri tulisan bagaimana bisnis bertahan menghadapi COVID-19. Post ini adalah hasil brainstorming dengan beberapa teman dari berbagai macam industri. Semua seri Pivot Pandemi bisa dibaca di link berikut.

Gue ngobrol dengan salah seorang teman, general manager penerbitan Jakarta. Semenjak pandemi , penjualan buku nasional terjun bebas hingga setengahnya. Termasuk kantor teman gue ini, which for the rest article, kita sebut saja penerbit 456.

Photo by freddie marriage on Unsplash. Illustrasi toko buku.

Gue akan membahas model bisnis penerbit 456, tantangan yang mereka hadapi di pandemi dan juga ide-ide pivot untuk bikin bisnis penerbitan sustain dan bahkan bertumbuh kedepannya.

Lets go!.

Model Bisnis Penerbit 456

Awal mulanya, Penerbit 456 adalah perusahaan keluarga seorang cendekiawan muslim yang dibuat untuk merilis buku-buku karya beliau. Namun seiring waktu dan perkembangan bisnis, Penerbit 456 melebarkan sayap ke genre lain seperti buku pendidikan, buku pengetahuan islam yang “pop” , biografi public-figure dan juga non-fiksi. Masing-masing genre ini dikelompokkan dalam imprint yang berbeda.

Imprint didalam sebuah penerbitan adalah sub-brand, brand turunan, yang digunakan untuk mengelompokan buku-buku dengan topik tertentu. Sebagai contoh, penerbit Gramedia punya beberapa imprint seperti Gramedia Pustaka Utama untuk buku-buku nonfiksi, Grasindo untuk sastra, Elex Media Komputindo untuk komik terjemahan dan M&C yang juga produksi komik tetapi dengan kemasan premium.

Model Bisnis Penerbit 456

Proses produksi buku di mulai dengan pengembangan naskah. Dua cara penerbit menemukan naskah : menunggu kiriman dari penulis atau proaktif mencari potensial naskah. Penerbit 456 cenderung ke langkah ke dua karena mereka penerbit kecil. Redaksi dan tim bisnis mereka bergerilya untuk mencari penulis, public figure atau siapapun yang punya cerita yang potensial dikembangkan menjadi buku best-seller.

Untuk sebuah buku, penerbit membayar biaya royalti kepada penulis sebesar 10-15% dari harga buku. Biaya produksi, termasuk diantaranya, cetak, editor dan design, sebesar 30%. Profit margin sebesar 20%. Terakhir adalah biaya distribusi yang bervariasi dari tiap channel dari 10% hingga 40%.

Ilustrasi unit cost dan fee dari masing masing sales channel

Channel penjualan utama buku Penerbit 456 adalah toko buku Gramedia. Gramedia mendominasi kanal penjualan buku fisik sehingga mereka bisa mematok fee 40% per buku terjual . Channel kedua adalah lewat toko-toko buku lokal. Mereka biasanya hanya mematok biaya penjualan 15-20% sehingga margin penerbit lebih besar. Tetapi tentunya frekuensi penjualan masih jauh daripada gramedia.

Channel online masih memberikan kontribusi kecil untuk Penerbit 456. Pembelian online di fasilitasi menggunakan marketplace Tokopedia atau Bukalapak. Fee penjualan sebesar 1% atau 15% jika mendaftar sebagai official seller. Penerbit 456 juga menjual e-book via Google Play, tapi pembelinya hampir tidak ada.

Gue pernah menulis tentang kenapa e-book belum diminati di Indonesia. Sudah lima tahun tapi sepertinya masih relevan dengan fakta penjualan penerbit 456 diatas.

Tantangan di Masa Covid-19

Karena kanal penjualan utama Penerbit 456 adalah dari toko buku, ketika pandemi datang dan PSBB di berlakukan, orang berhenti ke toko buku dan penjualan buku pun otomatis anjlok. Selain itu, acara-acara offline seperti pameran buku juga susah dilakukan sepanjang 2020 ini. Kanal pembelian buku fisik secara offline sepertinya akan mengalami masa paceklik yang panjang.

Taktik paling logis adalah mengalihkan penjualan ke kanal online. Namun permasalahannya Penerbit 456 tidak terlalu mengembangkan kanal ini sehingga aset seperti followers, akun instagram dan website mereka sendiri tidak bisa digunakan optimal untuk mendatangkan penjualan yang setara dengan kanal offline.

Kanal penjualan yang seret sementara biaya operasional terus berjalan membuat cashflow Penerbit 456 terancam habis dalam beberapa bulan ke depan.

Opsi Pivot ke Depan

Berikut beberapa opsi pivot yang menurutku potensial untuk di explore Penerbit 456 ke depan.

Memperlebar channel penjualan online menggunakan komunitas

Salah satu langkah yang sedang dijajaki untuk menggenjot penjualan online Penerbit 456 adalah menjalin kerja-sama dengan komunitas online yang mempunyai followers dan aset digital yang lumayan. Penerbit 456 bisa menawarkan komunitas ini untuk menjadi reseller buku-buku mereka.

Komunitas bisa mendapatkan margin penjualan buku sebagai pemasukan untuk operasional kegiatan komunitas tersebut.

Karena mayoritas buku-buku penerbit 456 masih bernafaskan agama Islam, menurutku ada beberapa komunitas atau akun sosial media yang potensial untuk diajak kerjasama : @nuonline, @nugarislucu, @lensamu dan gusdurian.

Penerbit 456 juga bisa mengajak komunitas pecinta buku untuk diajak kerjasama. Salah satunya adalah akun instagram @bukumojok yang sudah secara eksplisit memasang tag open for reseller di profile mereka.

Mengembangkan kanal penjualan via influencer / konten kreator

Kita eksplore lebih dalam ide reseller komunitas di atas.

Bagaimana klo Penerbit 456 tidak hanya mencari komunitas tetapi juga konten kreator yang punya massa / follower lumayan dan align dengan pesan dari buku-buku mereka. Penerbit 456 bisa menawarkan influencer tersebut untuk menjadi reseller atau dropshipper buku-buku mereka dengan diskon yang lebih besar daripada reseller individu lainnya (40% misalkan) dengan imbal balik exposure ke audiens mereka. In

Dibanding endorse dengan bayar per posting, menawarkan skema reseller untuk engage dengan influencer lebih ramah cashflow untuk Penerbit 456.

Buku sebagai layanan

Scribe Book adalah startup penerbitan di US yang di bangun oleh Tucker Max, penulis buku best seller. Model bisnis mereka adalah book publishing as-a-service. Scribe menawarkan layanan all-in-one penerbitan buku mulai dari membantu proses penulisan, produksi, distribusi hingga marketing. Scribe memberikan layanan kepada penulis professional maupun amatir untuk membangun sebuah buku dari ide hingga buku itu dijual.

Tingkatan layanan yang disediakan Scribe Writing

Menurutku bisnis layanan ini menarik dilakukan Penerbit 456 ataupun bahkan penerbit lainnya. Tawarkan layanan untuk siapapun yang berminat untuk membuat buku dengan mengutilisasi asset yang selama ini dipakai untuk produksi internal : mulai dari editor, layout, desain, akses distribusi ke toko retail, ISBN dan bahkan jasa ghostwriter. Scribe menjual layanan mereka dengan harga premium, 10 ribu USD untuk 50 buku fisik. Penerbit 456 menurutku juga harus mematok harga premium untuk layanan seperti ini, dengan minimum eksemplar yang bisa menutup ongkos produksi + margin.

Bagi penerbit 456, layanan seperti ini seperti mengembangkan lini bisnis B2B. Revenuenya sudah pasti didepan, tidak seperti bisnis retail penjualan buku yang bergantung pada demand.

Segmen pelanggan yang bisa di target adalah eksekutif perusahaan atau startup yang sedang naik daun. Buku adalah salah satu instrumen personal branding, marketing dan juga bisa menjadi sinyal kredibilitas untuk professional.

Segmen pelanggan selanjutnya adalah konten kreator. Mereka punya captive market yaitu penikmat dan follower karya-karya mereka. Buku juga bisa menjadi salah satu produk yang mereka bisa jual sendiri. Royalti untuk menulis buku memang kecil, hanya 10% dari harga buku. Akan tetapi ketika konten kreator tersebut menjual buku itu sendiri, mereka bisa membeli buku mereka at-cost dengan penerbit. Sehingga keuntungan yang bisa mereka dapatkan 10% royalti ditambah 40% margin fee yang seharusnya dibayarkan ke Gramedia. Jika harga buku 100ribu dan mereka bisa menjual 200 eksemplar, mereka bisa mendapat 10 juta dari penjualan tersebut.

Mengembangkan konten turunan dari buku

Buku adalah sebuah konten padat dalam bentuk tulisan. Insight-insight didalamnya bisa dikembangkan menjadi bentuk konten yang lain. Menjadi audio misalkan dengan audio book atau podcast. Video juga bisa, baik itu tutorial, explainer atau penulis menjelaskan isi bukunya seperti seminar. Bahkan seringkali buku juga menjadi basis untuk penulis menjual pelatihan berbayar.

Penerbit, sebagai fasilitator pembuatan konten, bisa mengeksplore opsi-opsi ini bekerja sama dengan penulis. Bikin pelatihan bareng dengan sistem bagi hasil, buat konten youtube atau bikin podcast mingguan membahas intisari buku-buku repertoir mereka.

Salah satu contoh ekspansi konten buku yang bagus adalah episode terbaru Podcast Freakonomics – Make Your Own Luck. Di episode ini, penulis buku membacakan cuplikan bukunya, lalu kemudian membahas proses kreatif di balik pembuatan buku tersebut. Format seperti ini, membuat gue sebagai pendengar podcast Freakonomics mendapatkan informasi tanpa harus membaca dan malah membuat gue tertarik untuk membeli.

Kesimpulan

Penerbit, di era digital saat ini, harus shifting dari penjual buku menjadi dealer of knowledge. Yang dijual adalah ilmu, tulisan adalah salah satu bentuknya dan toko buku adalah salah satu kanal penjualannya. Produk yang multi-konten dan multi-channel, dengan model bisnis yang multi-segmen (B2C dan B2B), menjadi kunci untuk bertumbuh ditengah pandemi dan disrupsi kedepan.

Terima kasih sudah membaca tulisan Pivot Pandemi. Untuk referensi lebih lanjut mengenai model bisnis publishing :

Terima kasih telah membaca. Jika kamu menikmati tulisan ini dan ingin mendapatkan update tentang tulisan terbaru via email, sila isi form dibawah.

Processing…
Success! You're on the list.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.